Wednesday 9 December 2015

Review Jurnal “The Problem of the Italo-Croato-Slovene border delimitation in the Northern Adriatic”



Laut Adriatik merupakan contoh kasus dari perubahan geografis politik laut yang sangat ilustratif. Pada tahun 1990an, Yugoslavia dipecahkan menjadi Kroasia dan Slovenia. Sebagai konsekuensinya, Kroasia dan Slovenia mulai melakukan delimitasi batas internasional mereka. Kroasia dan Slovenia mengambil alih wilayah Yugoslavia yang sebelumnya, termasuk kekuasaan di wilayah Laut Adriatik. Proses penetapan batas maritim menimbulkan sengketa antara kedua demokrasi yang baru terbentuk tersebut, dan hal tersebut merupakan hambatan besar bagi kegiatan kerjasama dan aspek kemakmuran di Laut Adriatik Utara.

Sistem batas laut Adriatik Utara merupakan warisan dari delimitasi Italia dan Yugoslavia sebelumnya. Bentuk akhir dari sistem batas akan diketahui pada saat penyelesaian akhir batas maritim antara Kroasia dan Slovenia. Selama masalah belum terselesaikan, terdapat beberapa opsi yang memungkinkan. Delimitasi antara Itali dan Yugoslavia tidak dipertanyakan sejauh ini sehingga akan memberikan dasar yang baik untuk batas maritim di masa yang akan datang.

Dalam penyelesaian sengketa perbatasan ini, sebuah komisi bersama perbatasan dibuat untuk melakukan delimitasi dan demarkasi secara presisi. Tugas penentuan batas tersebut terlihat mudah karena sebagian besar batas telah di desain sejak abad pertengahan. Namun masih ada permasalahan batas yang belum selesai seperti yang ada di perbatasan selatan dari kerajaan romawi, batas provinsi dan batas dual-monarki termasuk Austria. Karena garis batas antara Republik Yugoslavia yang terdahulu telah menjadi garis batas negara, garis tersebut kemudian menjadi garis pembagi politik, ekonomi dan moneter yang membagi dua entitas paling makmur dari federasi sebelumnya (Kroasia dan Slovenia) . Mereka mendefinisikan wilayah mereka berdasarkan teori yuridis, geografis, historis, dan politis. Penetapan batas maritim mengalami kesulitan karena Kroasia dan Slovenia memiliki sudut pandang prinsip pendefinisian garis batas yang berbeda. Selain itu, kemakmuran regional erat kaitannya dengan pengaturan garis batas dan pengaturan antar negara, sehingga masing-masing negara tentu akan memperjuangkan garis batas yang menguntungkan bagi negaranya sendiri.
Garis batas maritim Slovenia dan Kroasia merupakan permasalahan khusus. Batas darat kedua negara ditarik sampai ke teluk kecil Piran. Kroasia cenderung menentukan batas maritim berdasarkan prinsip sama jarak. Pasal 15 Konvensi Laut Internasional 1982 menyatakan bahwa garis tengah dapat diadopsi apabila kedua pihak sama-sama setuju untuk mengadopsinya. Sedangkan di sisi Slovenia, negara ini ingin menerapkan pasal 12 dari konvensi laut teritorial 1958 yang menyatakan bahwa jalan akses menuju ke laut internasional merupakan hal yang penting bagi sebuah negara. Garis tengah di Teluk Piran akan menghambat perekonomian Slovenia ( pada aspek perikanan dan pariwisata) dan tidak memberikan akses bebas ke pelabuhan laut Koper milik Slovenia. Selain itu, di tahun 1980, nelayan Slovenia mengatur maricultures di teluk Piran yang dekat dengan pantai Kroasia. Dua prinsip Yuridis yaitu ‘sui generis’ dan ‘uti posidetis iuris’ diimplementasikan oleh Slovenia dalam kasus ini.
Sampai saat jurnal ini dibuat (2001), tahap delimitasi dari garis batas maritim Slovenia dan Kroasia masih di tahap pertama yakni sebuah komisi bilateral sedang menentukan kriteria sedangkan studi di bidang ilmu geodesi juga sedang dilakukan. Dua tahap selanjutnya akan menentukan batas lengkap dari delimitasi dan demarkasi, pengalaman dari negara lain menunjukkan penyelesaian garis batas tersebut akan memakan waktu bertahun-tahun.

Penyelesaian batas tersebut tidak sesederhana hanya dengan mengharapkan pengertian dari masing-masing pihak. Di sisi Slovenia, negara ini berkeinginan memiliki jalan akses menuju laut bebas, namun di sisi lain Kroasia tidak ingin proporsi lautnya berkurang karena adanya akses menuju laut lepas bagi Slovenia. Apabila dipikirkan secara sederhana, bisa saja disarankan agar Kroasia dimohon untuk berkenan memberikan akses bagi Slovenia ke laut bebas, sedangkan Slovenia dimohon untuk dapat menerima akses menuju ke laut lepas tersebut dengan “lapang dada” dan “menerima apa adanya” akses yang disediakan atau disepakati dengan Kroasia. Namun kembali lagi, dalam penentuan akses ke laut lepas nanti ini pun tentu akan membawa kondisi sengketa yang lain sebab masing-masing negara, baik Kroasia dan Slovenia, tentu mempertahankan dan memperjuangkan kemakmuran negaranya masing-masing. Hal tersebutlah yang membuat persoalan penentuan batas maritim menjadi pekerjaan rumah yang berlarut-larut bagi kedua negara ini.

Kroasia dan Slovenia berinisiatif ingin membawa masalah ini untuk diselesaikan melalui arbitrase, namun penyelesaian dengan arbitrase umumnya tidak akan membawa mereka pada solusi yang mutualisme. Di samping itu penyelesaian dengan arbitrase tentu akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Penyelesaian dengan negosiasi menjadi solusi yang paling menarik dan berpotensi memberikan keuntungan bagi kedua negara dalam penyelesaian sengketa tersebut. Selain itu, penyelesaian ini juga dapat memperkuat posisi kedua negara di komunitas internasional.
Apabila memang dirasa tidak menemukan solusi yang melegakan bagi kedua negara, kerjasama perbatasan akan menjadi solusi lain yang cukup baik apabila melihat kondisi dari sengketa Slovenia dan Kroasia. Apalagi melihat fakta bahwa sebenarnya mereka dahulunya merupakan suatu kerajaan Yugoslavia.

Surveyor Dalam Kaitannya Dengan Penentuan Batas Maritim



Surveyor sangat erat kaitannya dengan kegiatan pemetaan dan pengukuran, namun sayangnya banyak masyarakat belum memahami secara jelas dan populer tentang peran disiplin ilmu ini. Jangankan untuk tujuan yang lebih besar, peran-peran surveyor dalam pengukuran pun terkadang sering luput dari pandangan masyarakat. Padahal surveyor memiliki potensi yang besar untuk berkontribusi dalam kegiatan teknis maupun non-teknis, dari yang skala kecil sampai skala besar, dari yang menyangkut kepentingan individu maupun sebuah negara. Surveyor memiliki peran yang besar dalam dunia yang sesungguhnya. Melalui teknologi geospasial yang dikuasainya, seorang surveyor mampu melakukan hal-hal yang memiliki urgensi serta berdampak global, salah satunya adalah penentuan garis batas maritim antara 2 negara. Penentuan garis batas maritim merupakan salah satu kontribusi surveyor dalam memetakan kedaulatan negara. 

Peran surveyor dalam penentuan batas maritim sangat penting, sebab batas maritim antar dua negara ini akan berhubungan dengan status dan kekuasaan masing-masing negara sehingga hal ini tentu akan mendapatkan perhatian khusus dari kedua negara. Sebagai orang profesional yang bertanggung jawab dan memiliki kapabilitas, surveyor seharusnya mampu melakukan asistansi dalam penetapan batas maritim antara dua negara secara teknis. Pembuatan garis batas yang dilakukan semestinya dibuat secara obyektif, tegas, dan efektif sesuai dengan aturan konstitusional dan kondisi geografis kedua negara. Batas yang dibuat ini nanti diharapkan tidak menjadi pemisah hubungan politis antara 2 negara melainkan sebisa mungkin menjadi sarana bagi kedua negara untuk dapat berkoordinasi dan bekerja sama dalam berbagai kepentingan. Dalam konteks terjadinya sengketa dan konflik, seorang surveyor diharapkan mampu memberikan opsi penyelesaian teknis yang relevan dan akurat agar menjadi solusi bahkan menjadi jembatan penghubung kepentingan antara 2 negara. Dalam hal penegasan batas maritim di lapangan, surveyor pun diharapkan mampu melakukan stake out secara presisi dan akurat sehingga apa yang ia tandai di lapangan akan selaras dengan apa yang telah ia buat di atas peta.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana seorang surveyor dapat bertindak senetral mungkin dalam kontribusinya dalam penetapan batas maritim. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang tentu memiliki kecenderungan ketika dihadapkan kepada 2 hal secara terus menerus. Disinilah profesionalitas dan kapabilitas seorang surveyor diuji, yaitu ketika surveyor harus memberikan rekomendasi secara obyektif, baik secara teknis maupun secara diplomatis dengan komunikasi yang baik. Dengan memahami secara komprehensif mengenai tanggung jawabnya, maka seorang surveyor dapat memberikan argumen dan solusi penetapan batas maritim yang relevan bagi kedua pihak. Melalui pengalaman dan pengetahuan yang telah didapat, seorang surveyor akan mampu memberikan solusi penetapan batas maritim secara bijak yang penting dalam pengambilan keputusan dan perundingan batas maritim antara dua negara.

Saturday 30 May 2015

Mengamati Kondisi Terumbu Karang dengan Teknologi Penginderaan Jauh


Terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem utama di muka bumi yang terbentuk secara alami. Ekosistem ini dihuni oleh ribuan tumbuhan dan hewan unik yang bernilai tinggi. Lebih dari seperempat spesies laut menggantungkan hidupnya pada ekosistem terumbu karang yang sehat. Terumbu karang menjadi sumber makanan utama, penghasil pemasukan dan sumber daya bagi jutaan orang melalui peranannya dalam hal pariwisata dan perikanan. Terumbu karang juga turut menghasilkan senyawa kimia penting untuk obat-obatan dan menyediakan barrier gelombang alami sebagai pelindung bentuk pantai dan garis pantai dari badai (storms), tsunami dan banjir (floods) melalui pengurangan aksi gelombang yang ditimbulkannya (Wallace, 1998; The Coral Reef Alliance, 2002). Peran ekosistem terumbu karang yang amat penting ini menuntut manusia untuk mampu menjaga ekosistem terumbu karang secara intensif.

Gambar 1. Terumbu karang pada kedalaman tertentu dapat dideteksi melalui citra satelit

Di sisi lain, ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu pemanfaatannya harus dilakukan secara ekstra hati hati. Apabila terumbu karang mengalami kematian (rusak) maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat pulih kembali. Berkaca pada kenyataan tersebut, penting bagi manusia untuk bisa mengamati perkembangan ekosistem terumbu karang agar dapat mempertahankannya.

Salah satu teknologi yang dapat membantu manusia mengamati ekosistem terumbu karang adalah melalui penginderaan jauh. Pengamatan di kawasan terumbu karang dapat dilakukan dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk memberikan gambaran tentang distribusi dan kondisi terumbu karang di perairan dangkal dengan cakupan wilayah yang luas. Citra resolusi menengah seperti Landsat dapat digunakan untuk melakukan pengamatan terumbu karang, seperti yang dilakukan oleh Jupp, et al (1985), dalam penelitiannya menggunakan citra landsat_TM untuk memetakan kawasan terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Sementara Kuchler, et al (1986), memperkirakan bahwa penetrasi citra landsat kedalam air jernih sekitar 10 m untuk kanal 0,5 – 0,6 μm, 3 meter untuk kanal 0,6 – 0,7, 1 meter untuk kanal 0,7 – 0,8 μm dan hanya 10 cm untuk kanal 0,8 – 1,1 μm. Selanjutnya dikatakan bahwa kanal 0,5 – 0,6 μm pada citra landsat terbaik untuk pengukuran pada daerahdangkal dengan kedalaman 3 – 15 meter. 

Metode yang digunakan untuk mendapatkan informasi terumbu karang adalah metode yang didasari oleh Model Pengurangan Eksponensial (Standard exponential attenuation model). Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, kondisi ekosistem terumbu karang di area yang luas dapat diketahui secara langsung. Kelemahan dari teknologi ini adalah kapabilitas analisa kondisi terumbu karang hanya dapat dilakukan pada kedalaman tertentu, umumnya antara 0-10 meter. Hasil dari analisa ekosistem terumbu karang dengan citra satelit ini dapat diketahui seberapa besar kondisi terumbu karang yang hidup dan yang mati, serta organisme penutup dasar laut yang lain.
Mengetahui perkembangan kondisi terumbu karang dapat membuat manusia lebih waspada dan tahu tindakan apa yang perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan ekosistem terumbu karang. Melalui analisis tersebut maka pengelolaan wilayah pesisir lebih terarah dengan dukungan informasi serta data-data yang mendukung, sehingga prediksi tindakan antisipatif yang dilakukan lebih maksimal.

Sumber : Rauf, A., & Yusuf, M. (2004). Studi Distribusi dan Kondisi Terumbu Karang dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 9(2), 74-81.
Rudi, E. (2005). Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam setelah tsunami. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 10(1), 50-60.