Saturday, 30 May 2015

Mengamati Kondisi Terumbu Karang dengan Teknologi Penginderaan Jauh


Terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem utama di muka bumi yang terbentuk secara alami. Ekosistem ini dihuni oleh ribuan tumbuhan dan hewan unik yang bernilai tinggi. Lebih dari seperempat spesies laut menggantungkan hidupnya pada ekosistem terumbu karang yang sehat. Terumbu karang menjadi sumber makanan utama, penghasil pemasukan dan sumber daya bagi jutaan orang melalui peranannya dalam hal pariwisata dan perikanan. Terumbu karang juga turut menghasilkan senyawa kimia penting untuk obat-obatan dan menyediakan barrier gelombang alami sebagai pelindung bentuk pantai dan garis pantai dari badai (storms), tsunami dan banjir (floods) melalui pengurangan aksi gelombang yang ditimbulkannya (Wallace, 1998; The Coral Reef Alliance, 2002). Peran ekosistem terumbu karang yang amat penting ini menuntut manusia untuk mampu menjaga ekosistem terumbu karang secara intensif.

Gambar 1. Terumbu karang pada kedalaman tertentu dapat dideteksi melalui citra satelit

Di sisi lain, ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu pemanfaatannya harus dilakukan secara ekstra hati hati. Apabila terumbu karang mengalami kematian (rusak) maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat pulih kembali. Berkaca pada kenyataan tersebut, penting bagi manusia untuk bisa mengamati perkembangan ekosistem terumbu karang agar dapat mempertahankannya.

Salah satu teknologi yang dapat membantu manusia mengamati ekosistem terumbu karang adalah melalui penginderaan jauh. Pengamatan di kawasan terumbu karang dapat dilakukan dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk memberikan gambaran tentang distribusi dan kondisi terumbu karang di perairan dangkal dengan cakupan wilayah yang luas. Citra resolusi menengah seperti Landsat dapat digunakan untuk melakukan pengamatan terumbu karang, seperti yang dilakukan oleh Jupp, et al (1985), dalam penelitiannya menggunakan citra landsat_TM untuk memetakan kawasan terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Sementara Kuchler, et al (1986), memperkirakan bahwa penetrasi citra landsat kedalam air jernih sekitar 10 m untuk kanal 0,5 – 0,6 μm, 3 meter untuk kanal 0,6 – 0,7, 1 meter untuk kanal 0,7 – 0,8 μm dan hanya 10 cm untuk kanal 0,8 – 1,1 μm. Selanjutnya dikatakan bahwa kanal 0,5 – 0,6 μm pada citra landsat terbaik untuk pengukuran pada daerahdangkal dengan kedalaman 3 – 15 meter. 

Metode yang digunakan untuk mendapatkan informasi terumbu karang adalah metode yang didasari oleh Model Pengurangan Eksponensial (Standard exponential attenuation model). Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, kondisi ekosistem terumbu karang di area yang luas dapat diketahui secara langsung. Kelemahan dari teknologi ini adalah kapabilitas analisa kondisi terumbu karang hanya dapat dilakukan pada kedalaman tertentu, umumnya antara 0-10 meter. Hasil dari analisa ekosistem terumbu karang dengan citra satelit ini dapat diketahui seberapa besar kondisi terumbu karang yang hidup dan yang mati, serta organisme penutup dasar laut yang lain.
Mengetahui perkembangan kondisi terumbu karang dapat membuat manusia lebih waspada dan tahu tindakan apa yang perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan ekosistem terumbu karang. Melalui analisis tersebut maka pengelolaan wilayah pesisir lebih terarah dengan dukungan informasi serta data-data yang mendukung, sehingga prediksi tindakan antisipatif yang dilakukan lebih maksimal.

Sumber : Rauf, A., & Yusuf, M. (2004). Studi Distribusi dan Kondisi Terumbu Karang dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 9(2), 74-81.
Rudi, E. (2005). Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam setelah tsunami. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 10(1), 50-60.

Thursday, 21 May 2015

Alasan dibalik Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar di Indonesia


Gambar 1. Indonesia yang kaya akan suku bangsa
 
Negara kepulauan adalah sebutan yang telah melekat pada Negara Indonesia. Negara dengan lebih dari 1000 suku bangsa ini juga memiliki kepulauan yang sangat banyak, sekitar 17000 lebih pulau, tidak heran apabila Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan.  Pulau-pulau itu tersebar merata dan tidak hanya terdiri atas pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian, namun juga pulau-pulau kecil yang ada di sekitar pulau-pulau besar tersebut. Termasuk juga di wilayah-wilayah dekat perbatasan Indonesia dengan negara lain, sebab terkadang garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik menghubungkan pulau-pulau kecil terluar di Indonesia.

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu untuk dilakukan karena Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Alasan tersebut sudah jelas tertera dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Namun terkadang sering segelintir orang masih menyuarakan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terluar itu perlu dilakukan agar pulau-pulau kecil tersebut tidak direbut atau diklaim negara lain, padahal hal tersebut merupakan pernyataan yang sama sekali tidak tepat secara hukum. Suatu pulau dinyatakan menjadi "milik" atau kedaulatan negara lain bukan berdasar siapa pengelola pulau tersebut namun didasarkan pada sejarah negara yang pernah menguasai pulau tersebut. Misalnya saja Indonesia yang sebelumnya sempat dikuasai oleh Belanda dan kemudian memproklamasikan kemerdekaan,  maka daerah-daerah Indonesia yang dahulunya merupakan jajahan Belanda akan menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Sehingga tidak mungkin apabila daerah (pulau) yang dahulunya merupakan jajahan Belanda dan telah menjadi wilayah kedaulatan Indonesia kemudian dapat direbut oleh negara tetangga dengan begitu saja hanya karena tidak dikelola, kedaulatan suatu negara tidaklah sebercanda itu.

Seperti pada kasus Sipadan dan Ligitan, dimana kedua pulau ini diklaim secara bersamaan oleh Indonesia dan Malaysia.  Pertimbangan kunci untuk memutuskan milik siapa seharusnya pulau-pulau tersebut adalah fakta bahwa pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) yang telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Dapat dikatakan bahwa hasil akhir dari kasus ini adalah Indonesia belum berhasil menambah pulau, bukan kehilangan pulau sebab secara hukum Indonesia juga belum pernah memiliki pulau Sipadan dan Ligitan.

Maka dari itu, sebenarnya pengelolaan wilayah pesisir dan khususnya pulau-pulau kecil dilakukan agar kesejahteraan masyarakat lokal dapat terbina dan membantu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh di Indonesia ini. Selain itu juga untuk mengupayakan sumber daya agar dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal.

Memiliki semangat untuk mengelola dan mengupayakan wilayah pesisir dan pulau kecil secara maksimal tidaklah salah. Hanya saja hal tersebut perlu didukung dengan pemahaman mendalam dan mendasar untuk menjaga nama baik Indonesia di mata dunia dan menjaga niat itu sendiri agar tetap konsisten.