Terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem utama di muka bumi yang terbentuk secara alami. Ekosistem ini dihuni oleh ribuan tumbuhan dan hewan unik yang bernilai tinggi. Lebih dari seperempat spesies laut menggantungkan hidupnya pada ekosistem terumbu karang yang sehat. Terumbu karang menjadi sumber makanan utama, penghasil pemasukan dan sumber daya bagi jutaan orang melalui peranannya dalam hal pariwisata dan perikanan. Terumbu karang juga turut menghasilkan senyawa kimia penting untuk obat-obatan dan menyediakan barrier gelombang alami sebagai pelindung bentuk pantai dan garis pantai dari badai (storms), tsunami dan banjir (floods) melalui pengurangan aksi gelombang yang ditimbulkannya (Wallace, 1998; The Coral Reef Alliance, 2002). Peran ekosistem terumbu karang yang amat penting ini menuntut manusia untuk mampu menjaga ekosistem terumbu karang secara intensif.
Gambar 1. Terumbu karang pada kedalaman tertentu dapat dideteksi melalui citra satelit
Di sisi lain, ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu pemanfaatannya harus dilakukan secara ekstra hati hati. Apabila terumbu karang mengalami kematian (rusak) maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat pulih kembali. Berkaca pada kenyataan tersebut, penting bagi manusia untuk bisa mengamati perkembangan ekosistem terumbu karang agar dapat mempertahankannya.
Salah satu teknologi yang dapat membantu manusia mengamati ekosistem terumbu karang adalah melalui penginderaan jauh. Pengamatan di kawasan terumbu karang dapat dilakukan dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk memberikan gambaran tentang distribusi dan kondisi terumbu karang di perairan dangkal dengan cakupan wilayah yang luas. Citra resolusi menengah seperti Landsat dapat digunakan untuk melakukan pengamatan terumbu karang, seperti yang dilakukan oleh Jupp, et al (1985), dalam penelitiannya menggunakan citra landsat_TM untuk memetakan kawasan terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Sementara Kuchler, et al (1986), memperkirakan bahwa penetrasi citra landsat kedalam air jernih sekitar 10 m untuk kanal 0,5 – 0,6 μm, 3 meter untuk kanal 0,6 – 0,7, 1 meter untuk kanal 0,7 – 0,8 μm dan hanya 10 cm untuk kanal 0,8 – 1,1 μm. Selanjutnya dikatakan bahwa kanal 0,5 – 0,6 μm pada citra landsat terbaik untuk pengukuran pada daerahdangkal dengan kedalaman 3 – 15 meter.
Metode yang digunakan untuk mendapatkan informasi terumbu karang adalah metode yang didasari oleh Model Pengurangan Eksponensial (Standard exponential attenuation model). Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, kondisi ekosistem terumbu karang di area yang luas dapat diketahui secara langsung. Kelemahan dari teknologi ini adalah kapabilitas analisa kondisi terumbu karang hanya dapat dilakukan pada kedalaman tertentu, umumnya antara 0-10 meter. Hasil dari analisa ekosistem terumbu karang dengan citra satelit ini dapat diketahui seberapa besar kondisi terumbu karang yang hidup dan yang mati, serta organisme penutup dasar laut yang lain.
Mengetahui perkembangan kondisi terumbu karang dapat membuat manusia lebih waspada dan tahu tindakan apa yang perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan ekosistem terumbu karang. Melalui analisis tersebut maka pengelolaan wilayah pesisir lebih terarah dengan dukungan informasi serta data-data yang mendukung, sehingga prediksi tindakan antisipatif yang dilakukan lebih maksimal.
Sumber : Rauf, A., & Yusuf, M. (2004). Studi Distribusi dan Kondisi Terumbu Karang dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 9(2), 74-81.
Rudi, E. (2005). Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam setelah tsunami. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 10(1), 50-60.
super siimple ya rin
ReplyDelete