Wednesday, 9 December 2015

Review Jurnal “The Problem of the Italo-Croato-Slovene border delimitation in the Northern Adriatic”



Laut Adriatik merupakan contoh kasus dari perubahan geografis politik laut yang sangat ilustratif. Pada tahun 1990an, Yugoslavia dipecahkan menjadi Kroasia dan Slovenia. Sebagai konsekuensinya, Kroasia dan Slovenia mulai melakukan delimitasi batas internasional mereka. Kroasia dan Slovenia mengambil alih wilayah Yugoslavia yang sebelumnya, termasuk kekuasaan di wilayah Laut Adriatik. Proses penetapan batas maritim menimbulkan sengketa antara kedua demokrasi yang baru terbentuk tersebut, dan hal tersebut merupakan hambatan besar bagi kegiatan kerjasama dan aspek kemakmuran di Laut Adriatik Utara.

Sistem batas laut Adriatik Utara merupakan warisan dari delimitasi Italia dan Yugoslavia sebelumnya. Bentuk akhir dari sistem batas akan diketahui pada saat penyelesaian akhir batas maritim antara Kroasia dan Slovenia. Selama masalah belum terselesaikan, terdapat beberapa opsi yang memungkinkan. Delimitasi antara Itali dan Yugoslavia tidak dipertanyakan sejauh ini sehingga akan memberikan dasar yang baik untuk batas maritim di masa yang akan datang.

Dalam penyelesaian sengketa perbatasan ini, sebuah komisi bersama perbatasan dibuat untuk melakukan delimitasi dan demarkasi secara presisi. Tugas penentuan batas tersebut terlihat mudah karena sebagian besar batas telah di desain sejak abad pertengahan. Namun masih ada permasalahan batas yang belum selesai seperti yang ada di perbatasan selatan dari kerajaan romawi, batas provinsi dan batas dual-monarki termasuk Austria. Karena garis batas antara Republik Yugoslavia yang terdahulu telah menjadi garis batas negara, garis tersebut kemudian menjadi garis pembagi politik, ekonomi dan moneter yang membagi dua entitas paling makmur dari federasi sebelumnya (Kroasia dan Slovenia) . Mereka mendefinisikan wilayah mereka berdasarkan teori yuridis, geografis, historis, dan politis. Penetapan batas maritim mengalami kesulitan karena Kroasia dan Slovenia memiliki sudut pandang prinsip pendefinisian garis batas yang berbeda. Selain itu, kemakmuran regional erat kaitannya dengan pengaturan garis batas dan pengaturan antar negara, sehingga masing-masing negara tentu akan memperjuangkan garis batas yang menguntungkan bagi negaranya sendiri.
Garis batas maritim Slovenia dan Kroasia merupakan permasalahan khusus. Batas darat kedua negara ditarik sampai ke teluk kecil Piran. Kroasia cenderung menentukan batas maritim berdasarkan prinsip sama jarak. Pasal 15 Konvensi Laut Internasional 1982 menyatakan bahwa garis tengah dapat diadopsi apabila kedua pihak sama-sama setuju untuk mengadopsinya. Sedangkan di sisi Slovenia, negara ini ingin menerapkan pasal 12 dari konvensi laut teritorial 1958 yang menyatakan bahwa jalan akses menuju ke laut internasional merupakan hal yang penting bagi sebuah negara. Garis tengah di Teluk Piran akan menghambat perekonomian Slovenia ( pada aspek perikanan dan pariwisata) dan tidak memberikan akses bebas ke pelabuhan laut Koper milik Slovenia. Selain itu, di tahun 1980, nelayan Slovenia mengatur maricultures di teluk Piran yang dekat dengan pantai Kroasia. Dua prinsip Yuridis yaitu ‘sui generis’ dan ‘uti posidetis iuris’ diimplementasikan oleh Slovenia dalam kasus ini.
Sampai saat jurnal ini dibuat (2001), tahap delimitasi dari garis batas maritim Slovenia dan Kroasia masih di tahap pertama yakni sebuah komisi bilateral sedang menentukan kriteria sedangkan studi di bidang ilmu geodesi juga sedang dilakukan. Dua tahap selanjutnya akan menentukan batas lengkap dari delimitasi dan demarkasi, pengalaman dari negara lain menunjukkan penyelesaian garis batas tersebut akan memakan waktu bertahun-tahun.

Penyelesaian batas tersebut tidak sesederhana hanya dengan mengharapkan pengertian dari masing-masing pihak. Di sisi Slovenia, negara ini berkeinginan memiliki jalan akses menuju laut bebas, namun di sisi lain Kroasia tidak ingin proporsi lautnya berkurang karena adanya akses menuju laut lepas bagi Slovenia. Apabila dipikirkan secara sederhana, bisa saja disarankan agar Kroasia dimohon untuk berkenan memberikan akses bagi Slovenia ke laut bebas, sedangkan Slovenia dimohon untuk dapat menerima akses menuju ke laut lepas tersebut dengan “lapang dada” dan “menerima apa adanya” akses yang disediakan atau disepakati dengan Kroasia. Namun kembali lagi, dalam penentuan akses ke laut lepas nanti ini pun tentu akan membawa kondisi sengketa yang lain sebab masing-masing negara, baik Kroasia dan Slovenia, tentu mempertahankan dan memperjuangkan kemakmuran negaranya masing-masing. Hal tersebutlah yang membuat persoalan penentuan batas maritim menjadi pekerjaan rumah yang berlarut-larut bagi kedua negara ini.

Kroasia dan Slovenia berinisiatif ingin membawa masalah ini untuk diselesaikan melalui arbitrase, namun penyelesaian dengan arbitrase umumnya tidak akan membawa mereka pada solusi yang mutualisme. Di samping itu penyelesaian dengan arbitrase tentu akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Penyelesaian dengan negosiasi menjadi solusi yang paling menarik dan berpotensi memberikan keuntungan bagi kedua negara dalam penyelesaian sengketa tersebut. Selain itu, penyelesaian ini juga dapat memperkuat posisi kedua negara di komunitas internasional.
Apabila memang dirasa tidak menemukan solusi yang melegakan bagi kedua negara, kerjasama perbatasan akan menjadi solusi lain yang cukup baik apabila melihat kondisi dari sengketa Slovenia dan Kroasia. Apalagi melihat fakta bahwa sebenarnya mereka dahulunya merupakan suatu kerajaan Yugoslavia.

Surveyor Dalam Kaitannya Dengan Penentuan Batas Maritim



Surveyor sangat erat kaitannya dengan kegiatan pemetaan dan pengukuran, namun sayangnya banyak masyarakat belum memahami secara jelas dan populer tentang peran disiplin ilmu ini. Jangankan untuk tujuan yang lebih besar, peran-peran surveyor dalam pengukuran pun terkadang sering luput dari pandangan masyarakat. Padahal surveyor memiliki potensi yang besar untuk berkontribusi dalam kegiatan teknis maupun non-teknis, dari yang skala kecil sampai skala besar, dari yang menyangkut kepentingan individu maupun sebuah negara. Surveyor memiliki peran yang besar dalam dunia yang sesungguhnya. Melalui teknologi geospasial yang dikuasainya, seorang surveyor mampu melakukan hal-hal yang memiliki urgensi serta berdampak global, salah satunya adalah penentuan garis batas maritim antara 2 negara. Penentuan garis batas maritim merupakan salah satu kontribusi surveyor dalam memetakan kedaulatan negara. 

Peran surveyor dalam penentuan batas maritim sangat penting, sebab batas maritim antar dua negara ini akan berhubungan dengan status dan kekuasaan masing-masing negara sehingga hal ini tentu akan mendapatkan perhatian khusus dari kedua negara. Sebagai orang profesional yang bertanggung jawab dan memiliki kapabilitas, surveyor seharusnya mampu melakukan asistansi dalam penetapan batas maritim antara dua negara secara teknis. Pembuatan garis batas yang dilakukan semestinya dibuat secara obyektif, tegas, dan efektif sesuai dengan aturan konstitusional dan kondisi geografis kedua negara. Batas yang dibuat ini nanti diharapkan tidak menjadi pemisah hubungan politis antara 2 negara melainkan sebisa mungkin menjadi sarana bagi kedua negara untuk dapat berkoordinasi dan bekerja sama dalam berbagai kepentingan. Dalam konteks terjadinya sengketa dan konflik, seorang surveyor diharapkan mampu memberikan opsi penyelesaian teknis yang relevan dan akurat agar menjadi solusi bahkan menjadi jembatan penghubung kepentingan antara 2 negara. Dalam hal penegasan batas maritim di lapangan, surveyor pun diharapkan mampu melakukan stake out secara presisi dan akurat sehingga apa yang ia tandai di lapangan akan selaras dengan apa yang telah ia buat di atas peta.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana seorang surveyor dapat bertindak senetral mungkin dalam kontribusinya dalam penetapan batas maritim. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang tentu memiliki kecenderungan ketika dihadapkan kepada 2 hal secara terus menerus. Disinilah profesionalitas dan kapabilitas seorang surveyor diuji, yaitu ketika surveyor harus memberikan rekomendasi secara obyektif, baik secara teknis maupun secara diplomatis dengan komunikasi yang baik. Dengan memahami secara komprehensif mengenai tanggung jawabnya, maka seorang surveyor dapat memberikan argumen dan solusi penetapan batas maritim yang relevan bagi kedua pihak. Melalui pengalaman dan pengetahuan yang telah didapat, seorang surveyor akan mampu memberikan solusi penetapan batas maritim secara bijak yang penting dalam pengambilan keputusan dan perundingan batas maritim antara dua negara.

Saturday, 30 May 2015

Mengamati Kondisi Terumbu Karang dengan Teknologi Penginderaan Jauh


Terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem utama di muka bumi yang terbentuk secara alami. Ekosistem ini dihuni oleh ribuan tumbuhan dan hewan unik yang bernilai tinggi. Lebih dari seperempat spesies laut menggantungkan hidupnya pada ekosistem terumbu karang yang sehat. Terumbu karang menjadi sumber makanan utama, penghasil pemasukan dan sumber daya bagi jutaan orang melalui peranannya dalam hal pariwisata dan perikanan. Terumbu karang juga turut menghasilkan senyawa kimia penting untuk obat-obatan dan menyediakan barrier gelombang alami sebagai pelindung bentuk pantai dan garis pantai dari badai (storms), tsunami dan banjir (floods) melalui pengurangan aksi gelombang yang ditimbulkannya (Wallace, 1998; The Coral Reef Alliance, 2002). Peran ekosistem terumbu karang yang amat penting ini menuntut manusia untuk mampu menjaga ekosistem terumbu karang secara intensif.

Gambar 1. Terumbu karang pada kedalaman tertentu dapat dideteksi melalui citra satelit

Di sisi lain, ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu pemanfaatannya harus dilakukan secara ekstra hati hati. Apabila terumbu karang mengalami kematian (rusak) maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat pulih kembali. Berkaca pada kenyataan tersebut, penting bagi manusia untuk bisa mengamati perkembangan ekosistem terumbu karang agar dapat mempertahankannya.

Salah satu teknologi yang dapat membantu manusia mengamati ekosistem terumbu karang adalah melalui penginderaan jauh. Pengamatan di kawasan terumbu karang dapat dilakukan dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk memberikan gambaran tentang distribusi dan kondisi terumbu karang di perairan dangkal dengan cakupan wilayah yang luas. Citra resolusi menengah seperti Landsat dapat digunakan untuk melakukan pengamatan terumbu karang, seperti yang dilakukan oleh Jupp, et al (1985), dalam penelitiannya menggunakan citra landsat_TM untuk memetakan kawasan terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Sementara Kuchler, et al (1986), memperkirakan bahwa penetrasi citra landsat kedalam air jernih sekitar 10 m untuk kanal 0,5 – 0,6 μm, 3 meter untuk kanal 0,6 – 0,7, 1 meter untuk kanal 0,7 – 0,8 μm dan hanya 10 cm untuk kanal 0,8 – 1,1 μm. Selanjutnya dikatakan bahwa kanal 0,5 – 0,6 μm pada citra landsat terbaik untuk pengukuran pada daerahdangkal dengan kedalaman 3 – 15 meter. 

Metode yang digunakan untuk mendapatkan informasi terumbu karang adalah metode yang didasari oleh Model Pengurangan Eksponensial (Standard exponential attenuation model). Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, kondisi ekosistem terumbu karang di area yang luas dapat diketahui secara langsung. Kelemahan dari teknologi ini adalah kapabilitas analisa kondisi terumbu karang hanya dapat dilakukan pada kedalaman tertentu, umumnya antara 0-10 meter. Hasil dari analisa ekosistem terumbu karang dengan citra satelit ini dapat diketahui seberapa besar kondisi terumbu karang yang hidup dan yang mati, serta organisme penutup dasar laut yang lain.
Mengetahui perkembangan kondisi terumbu karang dapat membuat manusia lebih waspada dan tahu tindakan apa yang perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan ekosistem terumbu karang. Melalui analisis tersebut maka pengelolaan wilayah pesisir lebih terarah dengan dukungan informasi serta data-data yang mendukung, sehingga prediksi tindakan antisipatif yang dilakukan lebih maksimal.

Sumber : Rauf, A., & Yusuf, M. (2004). Studi Distribusi dan Kondisi Terumbu Karang dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 9(2), 74-81.
Rudi, E. (2005). Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam setelah tsunami. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 10(1), 50-60.

Thursday, 21 May 2015

Alasan dibalik Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar di Indonesia


Gambar 1. Indonesia yang kaya akan suku bangsa
 
Negara kepulauan adalah sebutan yang telah melekat pada Negara Indonesia. Negara dengan lebih dari 1000 suku bangsa ini juga memiliki kepulauan yang sangat banyak, sekitar 17000 lebih pulau, tidak heran apabila Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan.  Pulau-pulau itu tersebar merata dan tidak hanya terdiri atas pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian, namun juga pulau-pulau kecil yang ada di sekitar pulau-pulau besar tersebut. Termasuk juga di wilayah-wilayah dekat perbatasan Indonesia dengan negara lain, sebab terkadang garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik menghubungkan pulau-pulau kecil terluar di Indonesia.

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu untuk dilakukan karena Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Alasan tersebut sudah jelas tertera dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Namun terkadang sering segelintir orang masih menyuarakan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terluar itu perlu dilakukan agar pulau-pulau kecil tersebut tidak direbut atau diklaim negara lain, padahal hal tersebut merupakan pernyataan yang sama sekali tidak tepat secara hukum. Suatu pulau dinyatakan menjadi "milik" atau kedaulatan negara lain bukan berdasar siapa pengelola pulau tersebut namun didasarkan pada sejarah negara yang pernah menguasai pulau tersebut. Misalnya saja Indonesia yang sebelumnya sempat dikuasai oleh Belanda dan kemudian memproklamasikan kemerdekaan,  maka daerah-daerah Indonesia yang dahulunya merupakan jajahan Belanda akan menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Sehingga tidak mungkin apabila daerah (pulau) yang dahulunya merupakan jajahan Belanda dan telah menjadi wilayah kedaulatan Indonesia kemudian dapat direbut oleh negara tetangga dengan begitu saja hanya karena tidak dikelola, kedaulatan suatu negara tidaklah sebercanda itu.

Seperti pada kasus Sipadan dan Ligitan, dimana kedua pulau ini diklaim secara bersamaan oleh Indonesia dan Malaysia.  Pertimbangan kunci untuk memutuskan milik siapa seharusnya pulau-pulau tersebut adalah fakta bahwa pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) yang telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Dapat dikatakan bahwa hasil akhir dari kasus ini adalah Indonesia belum berhasil menambah pulau, bukan kehilangan pulau sebab secara hukum Indonesia juga belum pernah memiliki pulau Sipadan dan Ligitan.

Maka dari itu, sebenarnya pengelolaan wilayah pesisir dan khususnya pulau-pulau kecil dilakukan agar kesejahteraan masyarakat lokal dapat terbina dan membantu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh di Indonesia ini. Selain itu juga untuk mengupayakan sumber daya agar dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal.

Memiliki semangat untuk mengelola dan mengupayakan wilayah pesisir dan pulau kecil secara maksimal tidaklah salah. Hanya saja hal tersebut perlu didukung dengan pemahaman mendalam dan mendasar untuk menjaga nama baik Indonesia di mata dunia dan menjaga niat itu sendiri agar tetap konsisten.

Monday, 20 April 2015

The Power of a Farmer


Tanah menjadi aset yang sangat berharga saat ini. Investasi pada tanah menjadi sangat menguntungkan karena harganya tidak pernah turun, hingga Mark Twain pun mengatakan, "Buy land, they're not making it anymore". Selain itu, tanah bersifat multifungsi, bisa digunakan untuk apapun. Salah satunya untuk dijadikan lahan pertanian. Nah, sebagai negara dengan kondisi tanah yang terbatas, Belanda menyadari hal itu. Belanda mencari segala cara untuk memperbanyak tanah mereka dan mencari cara untuk mengupayakan tanah mereka yang sedikit itu. Sejauh ini ? mereka berhasil ! Ingin tahu rahasia dan strategi Belanda mengolah tanah mereka ? Check this out !

Gambar 1. Kegiatan Petani Belanda
Sumber : http://www.istockphoto.com/photos/farmer

Bangsa Belanda mengupayakan lahan mereka secara maksimal. Bangsa ini menyadari benar kesuburan yang dimiliki tanah di wilayah mereka. Inilah sisi "keren" dari petani-petani di Belanda. Mereka sadar akan potensi pertanian yang dimiliki dan bertekad melakukan inovasi berkelanjutan di Negara mereka. Mereka menjaga 2 komponen utama pertanian itu sendiri, yaitu tanah dan bibit tanaman.

Berbagai sistem pertanian diterapkan oleh petani. Mulai dari pertanian konvensional dengan banyak variabel eksternal yang ditambahkan pada tanaman, kemudian sistem pertanian organik yang sama sekali tidak menggunakan bahan seperti pestisida, herbisida, dan sebagainya, sampai sistem pertanian yang terintegrasi dengan menerapkan sistem pergiliran lahan untuk meningkatkan daya tahan lahan terhadap dampak lingkungan. Pergiliran lahan juga membuat tanah menjadi lebih kaya akan nutrisi dan zat hara. Belanda sangat memperhatikan masalah ini. Sejauh ini terlihat biasa saja ? Tunggu, mari kita lihat bagian selanjutnya.

Sejak tahun 1991, beberapa provinsi di Belanda telah berusaha untuk membentuk suatu jaringan untuk memonitor kualitas tanah (soil-quality monitoring network). Tujuan jaringan ini untuk mengetahui kondisi kesuburan tanah berdasarkan riwayat penggunaan tanah tersebut, air tanah, dan tipe tanah itu sendiri. Aspek keberlanjutan membuat Belanda tidak hanya melihat kondisi kesuburan tanah mereka saat ini, tapi juga di masa lalu, dan masa yang akan datang. Selain itu karena mereka memiliki cakupan pertanian yang cukup luas, untuk meningkatkan produksi mereka banyak menggunakan peralatan seperti pesawat dan alat lainnya untuk membantu melakukan perawatan tanaman. Bagaimana ? That is cool right ?

Gambar 2. Teknologi Pertanian Belanda, 2010 The Netherlands Precision Agriculture Project (PPL)
Sumber : http://www.phaff.com/en/content/2010-the-netherlands-precision-agriculture-project.html

Belanda tidak main main dalam mengembangkan sektor pertaniannya. Bak partai politik yang dalam masa kampanye, Belanda memiliki slogan di bidang pertanian. Slogan pertama adalah doing more with less, mereka percaya kalau untuk meningkatkan produksi, bisa dengan menggunakan lahan yang kecil, semakin hemat dalam penggunaan listrik, air dan faktor produksi lainnya. Dengan menyadari betapa sedikit dan terbatasnya sesuatu yang kita punya, maka kita akan semakin menghargai sesuatu itu, itulah yang dialami Belanda dan mereka banyak melihat kesempatan dalam kesempitan. That is a great job !

Slogan kedua adalah higher added value, yaitu dengan mencoba meningkatkan nilai tambah sebuah produk melalui mekanisme teknologi terbaru. Nah, karena itulah mereka sangat menekuni bidang riset dan mengembangkan benih-benih tanaman untuk mendapatkan hasil yang optimal. Mereka mengembangkan benih agar dapat memberikan buah dengan keuntungan lebih dalam jangka waktu yang panjang. Ibaratnya nih, 1 kg benih tomat di Belanda bernilai lebih mahal daripada 1 kg emas di eropa. How could ? karena keuntungan berkelanjutan yang dapat di hasilkan oleh benih itu.  Universitas-universitas di Belanda banyak yang mendedikasikan diri untuk melakukan riset bagi negara dan dunia. Dari riset-riset ini kemudian digulirkan inovasi-inovasi, di antaranya untuk industri pertanian.

Gambar 3. Agrikultur berbasis Riset
Sumber : http://hollandhubaustralia.com.au/sectors/agriculture-food/

Seperti pada tahun 2011 lalu. Belanda telah melakukan uji penanaman tiga puluh jenis kentang di lahan asin. Ini adalah uji coba pertama dari serangkaian uji coba lain. Tujuan utamanya adalah menanam kentang asin yang dapat tumbuh di seluruh dunia, karena bagi jutaan orang, kentang adalah makanan sehari-hari. Hasil dari pengujian ini menunjukkan bahwa dua jenis kentang Belanda ternyata dapat tumbuh dengan baik di kawasan asin. Uji ini sangat penting karena dalam sepuluh tahun mendatang, satu miliar hektar lahan pertanian di seluruh dunia tidak layak lagi untuk pertanian tradisional. Ini dikarenakan mengasinnya lahan pertanian. Dalam hal ini, Belanda melakukan penelitian yang bisa diterapkan di seluruh dunia. Belanda berusaha mengembangkan produk-produk, dengan dasar komersial atau sosial. Di lahan uji, juga ditanam tanaman laut serta tumbuh-tumbuhan liar tahan asin, di antaranya adas. Sayuran ini tumbuh dengan baik dan disajikan di restoran-restoran Texel. Jika petani berhasil 'mengendalikan' tanaman ini, maka juga bisa dipasarkan sebagai tumbuhan pertanian. Rupanya Belanda mengikuti fenomena alam dan berusaha beradaptasi dengan baik. Keren bukan menjadi petani di Belanda dengan berbagai inovasinya ? Dari sini kita bisa melihat bahwa petani bisa memiliki power yang besar apabila dilihat dari sudut pandang yang lain.

Saking fokusnya pada sektor pertanian, salah satu daerah di Belanda, tepatnya Pemerintah kotapraja di Westland, telah mendedikasikan diri sebagai kota pertanian dan tidak melirik sektor lain sebagai penopang ekonomi kota tersebut. Tidak heran jika Belanda mampu jadi eksportir yang terbesar di dunia pertanian setelah Amerika Serikat.  

Belanda memang tidak berhenti sampai disitu. Di sisi lain untuk menambah perbendaharaan tanah mereka, Belanda tekun melakukan reklamasi padahal kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Siapa yang menyangka, justru wilayah-wilayah pinggir laut yang dulu semestinya adalah laut kini menjadi lahan pertanian yang subur, peternakan, dan lokasi utama agroindustri yang mampu menyumbang 20 persen terhadap pendapatan nasional (PNB) Belanda. Semuanya berkat dari reklamasi tersebut. Di Belanda, Daratan baru hasil dari reklamasi menghasilkan sebuah provinsi baru bernama Flevoland yang dulunya adalah lautan. Eureka ! Mereka berhasil menemukan "harta karun" mereka.

Indonesia sepertinya perlu belajar dari peradaban Belanda. Belanda adalah negara yang tidak pernah berhenti belajar dan berinovasi. Negara yang luasnya tidak lebih besar daripada pulau Jawa ini memiliki rahasia peradaban yang luar biasa. Banyak orang bilang, kita sebagai manusia dalam menjalani hidup harus banyak belajar dari masa lalu. Otto Frank pernah berkata "to build up a future, you have to know the past". Sebuah negara terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Indonesia merupakan bangsa yang besar, namun besar bukan berarti segalanya, buktinya Indonesia kini juga mengadapi berbagai masalah yang rumit. Ada baiknya Indonesia belajar dari masa lalu. Bukan hanya belajar dan mengenang masa-masa perjuangan dulu, namun belajar pada tokoh di masa lalu, yaitu negara Belanda. Tidak perlu belajar dari hal-hal yang terlalu tinggi, mulai saja dari hal sederhana yang sebenarnya adalah jati diri Indonesia sendiri. Agroindustri. Bukankah orang bilang tanah kita tanah surga ? sampai tongkat, batu, dan kayu pun jadi tanaman.

Referensi :
De Buck, A. J., et al. "Farmers’ reasons for changing or not changing to more sustainable practices: an exploratory study of arable farming in the Netherlands." The Journal of Agricultural Education and Extension 7.3 (2001): 153-166.
Soczo, E. R., and J. J. M. Staps. "Review of biological soil treatment techniques in the Netherlands." Contaminated Soil’88. Springer Netherlands, 1988. 663-670.
http://internasional.kompas.com/read/2011/08/03/15233380/Kentang.Belanda.Tumbuh.di.Lahan.Asin. Diakses pada 16 April 2015.

Rijkersplein, Dorus. http://news.detik.com/read/2013/11/17/173444/2415273/103/pada-belanda-kita-belajar-tani-dan-pangan. Diakses pada 16 April 2015.

#HollandWritingCompetition2015

Saturday, 28 March 2015

Posisi Silang Indonesia dalam Kaitannya menuju Poros Maritim Dunia



Indonesia sedang gencar-gencarnya merintis diri sebagai poros maritim dunia. Gebrakan tersebut tentu bukanlah menyangkut hal yang sederhana, melainkan menuntut Indonesia dapat memiliki perencanaan kebijakan menyangkut berbagai hal yang bersifat jangka panjang dan menyeluruh yang mengatur aspek kemaritiman. Telah kita ketahui bahwa Kepulauan Indonesia terletak pada posisi silang, yakni di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Australia; serta di antara dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Indonesia. Kesadaran itu telah ditanamkan sejak awal ketika duduk di bangku sekolah. Biasanya, setelah itu diterangkan makna dari posisi silang itu. Makna geopolitik posisi silang Indonesia itu dapat dilihat dari beberapa aspek. Dalam hal ideologis, Indonesia berada di antara ideologi kapitalisme di Selatan dan komunis di sebelah utara. Walaupun begitu Indonesia mampu mendedikasikan diri untuk memiliki Pancasila sebagai ideologi tunggal di Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan budaya Indonesia. Dalam hal politik, Indonesia berada di antara dua sistem politik yang berbeda, yaitu demokrasi Australia dan demokrasi Asia Selatan. Dalam hal ekonomi, Indonesia berada di antara sistem ekonomi liberal Australia dan sistem ekonomi sentral Asia, sehingga Indonesia menjadi inti jalur perdagangan lalu lintas dunia, sehingga kebijakan maritim di Indonesia tentu akan dipertimbangkan karena berhubungan dengan aspek ekonomi dari negara-negara tersebut. Selain itu Indonesia menjadi jalur transportasi negara-negara lain, hal inilah yang kemudian menjadi sumber devisa bagi Indonesia sendiri di bidang perekonomian. Karena posisi strategis Indonesia ini, hubungan dengan negara lain serta ikatan dagang lalu lintas perdagangan dengan negara lain dapat dikondisikan damai dan lancar. Dengan membangun hubungan baik dengan negara lain maka akan turut mengangkat nama Indonesia di mata dunia, dan hal itulah yang dapat menjadi salah satu poin positif agar Indonesia bisa menjadi poros maritim dunia. Dalam hal sistem pertahanan, Indonesia berada di antara sistem pertahanan maritim di selatan, dan sistem pertahanan kontinental di utara. Hal ini akan membuat berbagai kebijakan di kedua sistem pertahanan tersebut juga mempertimbangkan sistem pertahanan yang ada di Indonesia agar tidak terjadi pertentangan yang cukup kontras.

Dengan melihat pembahasan diatas, dapat diambil benang merah betapa beruntungnya Indonesia dengan posisinya di Samudra Hindia. Keberuntungan ini juga mendukung potensi Indonesia untuk mewujudkan diri sebagai poros maritim dunia. Samudra Hindia menyumbangkan andil yang besar dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Apalagi apabila ditinjau dari aspek geografi. Kondisi Indonesia yang berada di persimpangan memungkinkan Indonesia untuk dapat diakses secara mudah oleh berbagai negara. Peran Indonesia sebagai jalur perdagangan internasional sejak jaman penjajahan dahulu kala, telah menjadi bukti bahwa sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang luar biasa yang sampai saat ini belum dikembangkan secara maksimal.

Apabila ingin digali dan ditelaah lebih jauh lagi, berbagai kondisi di Indonesia menyimpan potensi yang luar biasa kayanya, bahkan tantangan-tantangan Indonesia pun bisa diputarbalikkan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi Indonesia. Hanya saja, hal ini kembali lagi kepada diri masing-masing. Kesadaran Bangsa Indonesia sendiri atas pentingnya mengelola semua warisan nenek moyang dan anugrah yang telah diturunkan kepada Indonesia ini. Sebab pada dasarnya, kita tidak hanya hidup untuk diri kita sendiri, namun juga untuk generasi-generasi kita yang akan datang. Meningkatkan martabat Indonesia di mata dunia dengan melakukan pengelolaan wilayah secara baik, termasuk juga menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.


Sumber : http://infoindonesiakita.com/2014/09/12/posisi-silang-indonesia-dan-pengaruhnya/

Friday, 20 March 2015

Mengintip Ekosistem dan Sumber Daya Teluk Balikpapan


Ekosistem dan sumber daya di suatu wilayah adalah 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Apa dan bagaimana saja jenis sumber daya yang ada di suatu kawasan tergantung pada ekosistem yang terbentuk didalamnya. Sumber daya yang ada tersebut juga terkadang turut mendukung terbentuknya ekosistem yang baru. Seperti apakah ekosistem dan sumber daya yang ada di wilayah pesisir Indonesia ? Ada baiknya mengintip ekosistem dan sumber daya di wilayah pesisir Kalimantan TImur, tepatnya di Teluk Balikpapan.

Di Teluk Balikpapan berkembang ekosistem Mangrove. Ekosistem Mangrove merupakan habitat bagi beragam jenis ikan, kepiting, udang, kerang, reptil dan mamalia. Detritus dari Mangrove merupakan dasar pembentukan rantai makanan bagi banyak organisme pesisir dan laut. Hutan mangrove dengan sistem perakarannya yang kokoh mampu menahan hempasan ombak dan mencegah abrasi pantai, selain itu juga berfungsi untuk perangkap sedimen dan dapat menetralisir sebagian senyawa-senyawa yang bersifat racun.


Penduduk setempat telah lama memanfaatkan mangrove. Mereka menggunakan kayu mangrove untuk bahan bangunan, arang, dan kayu bakar. Beberapa jenis mangrove tertentu dimanfaatkan sebagai obat luka akibat tersengat ikan. Selain itu penduduk menangkap ikan, udang, kepiting dan bahan makanan lainnya di kawasan mangrove. Seperti juga mangrove di tempat lain, hutan mangrove di Teluk Balikpapan terancam oleh bertambahnya penduduk yang membutuhkan lahan dan sumber daya alam. Antara tahun 1998-1999 sebanyak 929 hektar atau lima persen dari hutan mangrove di Teluk Balikpapan dikonversi untuk tambak udang, perumahan, dan terminal pelabuhan (Boer dan Udayana, 1999).

Meskipun secara umum kondisi hutan mangrove di Teluk Balikpapan masih baik, namun terjadi penurunan luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun dan dampaknya sudah mulai dirasakan. Hal ini terbukti dari hasil tangkapan nener bandeng (Chanos chanos) dan benur udang windu (Penaeus monodon) di perairan Sungai Somber, Riko dan Sesumpu, yang cenderung menurun dari waktu ke waktu dan salah satu penyebabnya adalah kerusakan mangrove.

Kombinasi hutan mangrove dengan sistem perairan sungai-sungai yang bermuara di teluk membentuk kekhasan suasana alam yang unik. Potensi lain yang sangat menarik sebagai objek wisata alam adalah adanya mamalia laut seperti pesut (Orcaella brevirostris) dan duyung (Dugong dugon) di beberapa lokasi di perairan Teluk Balikpapan.

Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) yang berada di sub DAS Wain merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem kawasan Teluk Balikpapan. Keberadaan sub DAS Wain sangat berpengaruh terhadap kesehatan Teluk Balikpapan, sebagai contoh sumbangan sedimentasi yang berasal dari Sub DAS Wain yang rendah karena adanya upaya pengelolaan HLSW.Di dalam kawasan Teluk Balikpapan terdapat sub-sub DAS lainnya yang dapat dikelola seperti pengelolaan subDAS Wain. Diharapkan pengelolaan sub-subDAS tersebut perlu mengacu kepada renstra pengelolaan Teluk Balikpapan sebagai payung dari pengelolaan Kawasan Teluk Balikpapan.

Hal tersebut di atas menunjukkan betapa kayanya ekosistem dan sumber daya di pesisir Indonesia. Sayangnya terkadang karena tuntutan perkembangan zaman dan kepadatan penduduk akhirnya potensi-potensi tersebut seringkali dikesampingkan. Kajian mendalam mengenai upaya pengelolaan wilayah pesisir memang bukan hal yang mudah, namun hal itu perlu untuk dicicil dari sekarang agar nantinya dapat direncanakan dan diterapkan suatu upaya pengelolaan wilayah pesisir yang tidak merugikan pihak manapun. Dibutuhkan keterlibatan dari semua pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan hal tersebut.


Sumber : Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003 Seri Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu berjudul Contoh Rencana Stategis Pengelolaan Terpadu Teluk Balikpapan dan Peta Peta Pilihan

Sunday, 15 March 2015

Problematika Pesisir Kota Balikpapan


Suatu kota yang memiliki wilayah pesisir secara tidak langsung memiliki suatu keistimewaan tersendiri. Melalui kawasan pesisirnya, kota tersebut dapat menggali berbagai aspek yang bisa membawa manfaat kepada masyarakat dan pemerintah daerah disana. Kota yang berada di wilayah pesisir merupakan jalan akses masuk dan distribusi barang di suatu pulau. Keberadaan kota tersebut menjadi sangat strategis dan sayang apabila tidak dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Namun untuk mengembangkan wilayah pesisir diperlukan kajian mendalam tentang ekosistem dan struktur pesisir daerah tersebut agar pengelolaan yang dilakukan bisa tepat sasaran dan tidak menimbulkan efek samping yang lain. 

Kota dengan potensi pesisir yang cukup besar adalah kota Balikpapan. Kota yang berada di provinsi Kalimantan Timur ini ternyata kondisi pesisirnya terancam akan erosi dan sedimentasi. Erosi adalah proses terkikisnya dan terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah oleh media alami yang berupa air (air hujan). Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi disebut sedimen. Sedangkan sedimentasi (pengendapan) adalah proses terangkutnya/ terbawanya sedimen oleh suatu limpasan/aliran air yang diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti seperti pada saluran sungai, waduk, danau maupun kawasan tepi teluk/laut (Arsyad, 1989). Erosi mempengaruhi produktivitas lahan yang biasanya mendominasi daerah aliran sungai bagian hulu dan dapat memberikan dampak negatif pada daerah aliran sungai di bagian hilir (sekitar muara sungai) yang berupa hasil sedimen.

Dewasa ini, berdasarkan hasil pemantauan yang pernah dilakukan oleh berbagai pihak terkait dan Proyek Pesisir Kalimantan Timur terhadap kondisi kawasan pesisir, laut, sungai serta daratan, terlihat bahwa DAS Teluk Balikpapan telah mengalami gangguan atau kemunduran kualitas ekosistem dan lingkungannya. Kemunduran kualitas lingkungan ini terutama diindikasikan antara lain adanya pembukaan hutan mangrove untuk areal pertambakan yang tidak memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan dan terjadinya kekeruhan air pada muara-muara sungai di Teluk Balikpapan. Khususnya permasalahan kekeruhan air tersebut ternyata disebabkan oleh adanya sedimen yang terangkut bersama limpasan air sungai yang berasal dari tanah tererosi yang terjadi pada daratan daerah aliran sungai di Teluk Balikpapan. Sedangkan sedimen yang terangkut dan bermuara ke Teluk Balikpapan, selain menimbulkan kekeruhan air, juga dapat mengganggu kehidupan ekosistem perairan dan pendangkalan pada kawasan pelabuhan laut Balikpapan.

Sebenarnya, penyebab terjadinya erosi dan sedimentasi sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik berupa faktor alami maupun kegiatan manusia. Untungnya, permasalahan erosi dan sedimentasi mudah dipahami dengan benar dan dapat dilakukan dengan tindakan yang relatif sederhana untuk mencegah atau mengurangi laju erosi dan sedimentasi. Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh erosi dan sedimentasi amat mudah ditemukan, antara lain menipisnya permukaan tanah,terjadinya selokan/parit alami, perubahan vegetasi, kekeruhan dan sedimentasi di sungai, rawa, danau, kawasan penampungan air maupun muara-muara sungai di tepi laut.

Selain beberapa pengaruh dan faktor-faktor penyebab terjadinya erosi dan sedimentasi seperti tersebut di atas, secara umum ada beberapa permasalahan yang juga perlu dipertimbangkan yaitu kenyataan penerapan penggunaan lahan di lapangan yang tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Masalah tersebut diantaranya tumpang tindih (overlapping) penggunaan lahan, praktek penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak tepat atau salah, adanya perambahan hutan dan lahan serta terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan. Semuanya ini menimbulkan peluang besar bagi terbentuknya perluasan lahan terbuka dan lahan kritis yang sangat rentan terhadap erosi tanah.

Untuk menanggulangi hal tersebut maka perlu dilakukan observasi oleh pihak pemerintah daerah setempat mengenai status dan kondisi erosi serta sedimentasi yang terjadi. Hal ini menjadi penting sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil langkah dan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir yang lebih tepat. Dengan kontribusi dan kerja sama dari berbagai pihak, masalah ini dapat diselesaikan dengan bantuan penyelesaian yang interdisipliner. Yang terpenting adalah, setiap masyarakat lokal memiliki kesadaran terlebih dahulu akan tanggung jawab mereka untuk menjaga lingkungan.

Sumber : Kelompok Kerja Erosi dan Sedimentasi, (2002), Kajian Erosi dan Sedimentasi Pada DAS Teluk Balikpapan Kalimantan Timur, Laporan Teknis Proyek Pesisir, TE-02/13-I, CRC/URI, Jakarta, 38 halaman.

Sunday, 8 March 2015

Sekilas Menuju Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia

Beberapa waktu yang lalu para nelayan melakukan aksi demonstrasi untuk menentang kebijakan baru dari menteri kelautan Susi Pudji Astuti yang melarang adanya penangkapan ikan dengan menggunakan pukat. Para nelayan mengadakan demonstrasi agar kebijakan tersebut dapat dicabut karena mereka merasa dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut. Hal ini menjadi suatu polemik tersendiri bagi pemerintah, karena pada dasarnya kebijakan tersebut dibuat juga untuk kepentingan para nelayan. Pemerintah menegakkan kebijakan tersebut juga sebagai bentuk perhatian pemerintah akan keberadaan sumber daya alam yang ditakutkan akan semakin punah apabila penangkapan ikan dengan metode tersebut terus dilakukan. Selain itu juga sebagai bentuk penyetaraan nelayan agar nelayan yang ada di pulau jawa dan nelayan pulau papua sana tetap dapat sama-sama menikmati hasil laut yang ada. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia maka Indonesia harus mampu mewujudkan kebijakan-kebijakan yang berpengaruh secara signifikan, tidak hanya bagi Indonesia namun juga bagi dunia. Tantangannya adalah bagaimana kebijakan tersebut bisa diterima tidak hanya oleh masyarakat Indonesia namun juga masyarakat dunia, seperti yang kita ketahui kondisi pemerintahan di Indonesia sedang sangat tidak kondusif dengan berbagai pergolakan yang tidak hanya terjadi di masyarakat namun juga di kalangan pemerintah sendiri. Pemerintah harus mampu memahami dan mengambil simpati masyarakat Indonesia, lalu mengambil simpati masyarakat dunia, agar Indonesia bisa disegani keberadaannya sebagai poros maritim dunia.

Apabila mau digali lebih lanjut, Indonesia memiliki berbagai peluang yang mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia. Lihat saja bagaimana ketegasan hukum kelautan di Indonesia dan kuatnya armada kelautan di Indonesia yang dari waktu ke waktu terus ditingkatkan. Peluang lain adalah mengenai letak Indonesia di jalur pelayaran internasional. Kondisi ini tentu akan membuat setiap kebijakan yang ditetapkan oleh Indonesia berpengaruh dan menjadi salah satu pertimbangan bagi negara-negara lain, sehingga mau tidak mau maka negara lain pasti akan sangat berpedoman pada setiap kebijakan yang ditetapkan Indonesia. 

Beberapa hal tersebut menjadi suatu gambaran tersendiri, bahwasanya pengelolaan wilayah pesisir bukan hanya kaitannya dengan berbagai bentuk kegiatan langsung di wilayah pesisir untuk memberdayakan sumber daya alam yang ada disana, namun lebih dari itu adalah mengenai bagaimana membuat kebijakan-kebijakan yang berdampak luas bagi kondisi kesejahteraan pesisir dan semua unsur yang ada disana.

Sunday, 1 March 2015

Melihat Lebih Jauh Konsep Wawasan Nusantara



Konsep negara kepulauan Indonesia telah disetujui PBB dalam UNCLOS III hampir 33 tahun yang lalu. Melalui Deklarasi Djoeanda (1957), Indonesia mengklaim bahwa semua kawasan laut di antara pulau-pulau Indonesia menjadi perairan Indonesia dan merupakan bagian kedaulatan Indonesia. Artinya, laut di antara pulau-pulau Indonesia kemudian diakui sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia. Menggunakan atlas sederhana, Djoeanda meminta Mochtar Kusumaatmaja, untuk menggambar garis yang melingkupi kepulauan Indonesia. Garis itu kemudian dikenal sebagai garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik paling tepi pulau-pulau terluar Indonesia. Inilah yang menjadi asal muasal Wawasan Nusantara yang melihat keseluruhan wilayah Indonesia yang terdiri dari unsur darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh.

Keputusan ini selanjutnya berimplikasi pada banyak konsekuensi yang harus di tanggung oleh Indonesia. Mulai dari menentukan batas maritim dan batas wilayah darat kedaulatan Indonesia dengan negara lain yang berjumlah 10 negara tetangga, penjagaan dan pengawasan di wilayah perbatasan-perbatasan tersebut, sampai penyediaan alur laut kepulauan Indonesia sebagai jalur internasional yang dapat dilewati oleh negara lain di antara perairan kepulauan Indonesia.

Walaupun telah diakui dunia bahwa perairan kepulauan di Indonesia merupakan hak berdaulat Indonesia, namun bukan berarti seutuhnya menjadi wilayah Indonesia yang tidak boleh dilewati oleh negara lain secara bebas. Jauh sebelum adanya konsep wawasan Nusantara, kawasan perairan kepulauan Indonesia telah digunakan oleh negara lain sebagai jalur lalu lintas dunia secara bebas, sehingga konsep wawasan nusantara yang telah disetujui oleh masyarakat internasional ini perlu untuk mempertimbangkan kepentingan dunia. Indonesia perlu menyediakan alur laut kepulauan Indonesia sebagai win-win solution agar negara lain dapat tetap memiliki jalur melewati wilayah Indonesia namun di sisi lain indonesia tetap dapat mengawasi aktivitas negara lain di wilayah Indonesia.

Kebijakan yang membawa pengaruh kepada pihak Internasional tentu harus disepakati dengan persetujuan Internasional juga, karena memang pihak Internasional yang nantinya akan banyak berinteraksi dengan kebijakan tersebut, termasuk dalam hal ini adalah kebijakan mengenai alur laut kepulauan Indonesia. Ini berarti bahwa alur laut kepulauan Indonesia harus mendapat persetujuan pihak Internasional di meja diplomasi. Hal ini tentu menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Indonesia. Berusaha meyakinkan pihak Internasional mengenai alur laut kepulauan Indonesia yang telah dirancang oleh Indonesia bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Terbukti, dari rencana alur laut kepulauan Indonesia yang telah dibuat dan diajukan ke meja diplomasi Internasional, sangat sulit mendapatkan persetujuan. Alhasil dengan berbagai negosiasi antara banyak pihak, alur laut kepulauan Indonesia yang dibuat tersebut akhirnya disepakati sebagai bagian daripada alur laut kepulauan Indonesia dari utara ke selatan. Menyetujui rancangan ALKI tersebut sebagai bagian daripada ALKI berarti memberi suatu pekerjaan rumah tersendiri kepada Indonesia untuk menyelesaikan sisa rancangan ALKI atau dengan kata lain menambah ALKI dari barat ke timur. Hal tersebut menjadi suatu dilema tersendiri bagi Indonesia. Indonesia memiliki 2 pilihan yang cukup sulit, antara menambah ALKI baru dari barat ke timur atau mempertahankan ALKI yang sudah disetujui tersebut sebagai ALKI yang berlaku secara utuh di wilayah Indonesia namun harus dengan alasan yang kuat. Setiap pilihan tentulah memiliki konsekuensi masing-masing. Apabila Indonesia memutuskan untuk menambah ALKI dari barat ke timur, tentu harus diimbangi dengan kekuatan militer yang mampu mengawasi lalu lintas di sepanjang ALKI tersebut, karena semakin banyak lalu lalang kapal Internasional negara lain dan hal ini menyangkut keamanan wilayah dan warga Indonesia sendiri. Di sisi lain, apabila Indonesia ingin mempertahankan ALKI yang telah disetujui sebagian dan mengajukannya sebagai ALKI resmi di wilayah Indonesia maka Indonesia harus berupaya keras mencari solusi dan dasar yang tepat untuk mendukung situasi tersebut, sebab negara lain pasti akan banyak kontra dengan keputusan ini karena merasa bahwa pergerakan dan lalu lintas mereka dibatasi. Perlu pertimbangan dan kajian yang benar-benar matang berkaitan dengan ALKI ini. Kajian mendalam dari berbagai aspek sangat dibutuhkan untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang mampu mewakili keputusan yang terbaik bagi Indonesia.



Saturday, 21 February 2015

Analisis Perubahan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir



Dinamika kehidupan masyarakat terus berkembang dan menuntut pedoman hukum yang semakin lengkap untuk menjamin pelaksanaan dan penegakan kebijakan yang efektif. Pedoman hukum yang dibuat tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan dunia politik namun juga aspek lingkungan seperti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Akhirnya pada tahun 2007 pemerintah merumuskan Undang-Undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tertuang dalam UU No. 27 Tahun 2007.

Dari waktu ke waktu kemudian didapati bahwa Undang-Undang tersebut belum mampu memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.

Beberapa perubahan dilakukan mulai dari perubahan yang kecil terkait dengan EYD dan struktur kalimat, penambahan pasal, perincian pasal menjadi beberapa butir, hingga perubahan esensial terkait makna dan istilah yang dijabarkan dalam perundang-undangan tersebut. Perubahan yang cukup vital tersebut adalah mengenai HP-3, yaitu Hak Penguasaan Pesisir yang kemudian diperbarui menjadi Izin Lokasi melalui UU No.1 Tahun 2004. Istilah Hak Penguasaan Pesisir (HP-3) dianggap belum mewakili kebijakan pemerintah, karena istilah Hak memunculkan kesan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan pesisir tidak terdapat kesempatan dari pemerintah untuk dapat menuntut apa-apa terkait pengelolaan wilayah pesisir yang telah dilakukan. Sehingga pihak pengelola pesisir seakan-akan tidak memiliki tanggung jawab apa-apa kepada pemerintah atas apa yang telah dilakukan. Hal ini tentu menjadi suatu kendala bagi pemerintah dalam mengontrol bagaimana seharusnya pengelolaan wilayah pesisir dilakukan. Hal ini merupakan suatu manifestasi bahwa sejatinya seluruh kekayaan alam dan sumber daya yang ada di bumi pertiwi Indonesia ini merupakan milik Negara dan sudah seharusnya berbagai pengelolaannya juga dipertanggungjawabkan kembali kepada Negara.

Di dalam UU No.1 Tahun 2014 juga disebutkan aturan mengenai rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam hal pemberian izin lokasi. Dalam peraturan sebelumnya HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 tahun, sedangkan dalam peraturan ini pemegang Izin Lokasi akan di evaluasi di 2 tahun pertama sejak diterbitkannya izin, apabila pemegang izin tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu tersebut maka akan dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Lokasi. Selain itu sanksi bagi pihak yang melakukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa memiliki izin lokasi akan dikenai nominal denda dan kurungan masa tahanan yang lebih lama daripada yang tertera pada peraturan sebelumnya.

Secara garis besar, rangkuman beberapa perubahan yang dilakukan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sebagai berikut :

1. Meringkas struktur kalimat menjadi lebih efektif dan lebih mudah dipahami oleh pembaca, memperbaiki EYD dari salah satu kata, penambahan kata untuk mempertegas makna, serta penambahan istilah baru untuk memperjelas dan melengkapi makna kalimat yang dimaksud.
Pasal-pasal yang diubah adalah : Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 17, Pasal 23, Pasal 1 angka 19, Pasal 1 angka 30, Pasal 1 angka 23, Pasal 1 angka 26, Pasal 1 angka 28, Pasal 1 angka 29, Pasal 1 angka 31, Pasal 1 angka 32, Pasal 1 angka 38, Pasal 1 angka 33, ayat (1) dan ayat (7) Pasal 14, ayat (2) Pasal 63, dan Pasal 1 angka 44.

2. Penggantian istilah dan peraturannya. Yakni terkait istilah "Hak Pengusahaan Perairan Pesisir" menjadi "Izin Lokasi", seperti yang sudah dijabarkan di atas.
Ketentuan Pasal 1 angka 18 :
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu
menjadi 
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.

3. Perubahan pasal-pasal yang berhubungan dengan "Izin lokasi" yang dibahas pada Ketentuan Pasal 1 angka 18, baik menyangkut peraturan hingga sanksi akibat penelantaran pengelolaan wilayah pesisir.
Pasal tersebut adalah : Ketentuan Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60, Pasal 75

4. Penggantian judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah dari "Hak Pengusahaan Perairan Pesisir" sehingga menjadi "Izin"

5. Penambahan dan perincian pasal menjadi beberapa butir untuk memperjelas makna dan melengkapi perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 1 angka 27A, 
Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal 22C, 
Pasal 75A, 
Pasal 78A dan Pasal 78B, 
Pasal 18A, 
Pasal 30, Ketentuan ayat (2) Pasal 63, Ketentuan Pasal 71 diubah dan dirinci lagi pasal-pasalnya menjadi beberapa butir.

Perubahan merupakan suatu langkah untuk menjadi lebih baik, termasuk perubahan Undang-Undang ini. Keberadaan UU No.1 Tahun 2014 ini diharapkan dapat memberikan pelindungan yang lebih baik terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia serta dapat dijadikan acuan untuk membangun wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ke arah yang lebih baik.